Iklan Tintanesia
Promosi
Scroll untuk melanjutkan membaca

Saudaraku yang Bernama maut

Gambar merupakan ilustrasi dari cerpen karya Zuhdi Amin(Sastrapantura/Zuhdi)
 
SASTRAPANTURA

Kegelapan yang menjadi sahabat, gemuruh itu datang tanpa peringatan. Lantunan ayat suci tiba-tiba ditelan deru dahsyat. Langit luruh bersamaan dengan atap kubah. Cahaya lenyap digantikan kabut pekat dari debu dan serpihan. Di dalam kegelapan total itu, hanya ada empat hal. Napas tersengal yang berdebu. Rasa dingin lantai marmer yang retak. Tekanan besi beton di tungkai kanan. Dan suara adzan yang terus bergema dalam ingatan, terputus pada separuh syahdunya. Kodrat terjepit dalam ruang sempit, sebuah kantong udara yang diciptakan kebetulan oleh dua balok penyangga. Setiap tarikan napas terasa seperti menyedot campuran bubuk gipsum dan pasir. Setiap hembusan menjadi doa tanpa kata. Waktu kehilangan makna. Mata yang terbuka atau tertutup menghasilkan pemandangan sama, sebuah kegelapan pekat yang seolah-olah bisa diraba. Dalam kesunyian yang mencekam itu, telinga belajar menjadi mata. Setiap denting tetesan air, setiap gesekan kecil reruntuhan, setiap derit besi yang mendingin, semuanya menjadi peta bunyi yang menggambarkan posisinya dalam kuburan beton itu. Tubuh mungkin terkubur, tetapi kesadaran justru melayang tinggi, mengingat setiap detail ukiran dinding masjid yang pernah dipelajarinya dengan ujung jari.

Seberkas cahaya dari celah yang tak ada, entah sudah berapa lama, sebuah titik cahaya muncul. Bukan dari atas, melainkan dari samping, seolah-olah menembus balok padat. Cahaya itu lembut, memancar dari sosok kecil yang duduk bersila di sudut ruang terkurung itu. Seorang anak-anak dengan pakaian sederhana, wajahnya bersih meski sekelilingnya penuh debu. Anak itu tidak berkata-kata. Hanya tersenyum, lalu mulai melakukan gerakan-gerakan sholat dengan sempurna. Rakaat demi rakaat, dalam keheningan total. Kodrat, dengan tubuh yang sebagian terimpit, hanya bisa mengikuti dengan mata dan hati. Dalam kondisi di mana lisan tak mampu bersuara, qalbu yang mengamini. Kehadiran sosok asing itu tidak menimbulkan rasa takut. Justru memberikan ketenangan aneh, sebuah pengingat bahwa ritual ibadah tidak memerlukan ruang megah. Dinding bisa rubuh, tetapi penghambaan tetap tegak. Anak kecil itu adalah semiotika paling nyata. Sebuah penjelmaan dari kepasrahan murni, dari spiritualitas yang tak terpelintir oleh nalar dewasa. Ia adalah bayangan dari diri Kodrat sendiri, dari ingatannya sebagai santri cilik yang dulu pertama kali belajar sholat tanpa beban dunia. Pertemuan itu bukan halusinasi. Itu adalah realitas lain yang terbuka ketika batas-batas fisik tubuh dan dunia material melebur dalam keadaan antara hidup dan mati.

Perjuangan pada batas napas terakhir, tiga malam dan tiga siang berlalu dalam siklus yang sama. Gelap, cahaya, sholat dalam hati, gelap lagi. Rasa haus dan lapar telah berubah menjadi sensasi tumpul, sebuah latar belakang dari drama bertahan hidup yang lebih besar. Tenaga terkuras bukan untuk berteriak minta tolong, melainkan untuk tetap sadar, untuk tetap menghadirkan hati dalam setiap tarikan napas yang mungkin saja menjadi yang terakhir. Setiap kali pikiran tentang kematian mendekat, ingatan akan sosok anak kecil dan gerakan sholat sempurna itu menjadi penahan. Ia tidak lagi berjuang untuk diri sendiri semata. Perjuangan itu menjadi persembahan terakhir, sebuah bukti bahwa dalam kondisi paling ekstrem sekalipun, usaha fisik dan keteguhan hati harus berjalan seiring. Suara dari luar akhirnya terdengar. Gemerincing alat berat, teriakan samar, dan denting pahat. Setiap bunyi itu seperti azan kedua, memanggil kembali kepada kehidupan. Saat cahaya asli pertama kali menyentuh wajahnya setelah sekian lama, yang terasa bukanlah kelegaan. Yang terasa adalah sebuah transisi halus dari satu keadaan sakral ke keadaan sakral lainnya. Dari ruang sempit penuh kehadiran malaikat, ke ruang luas penuh wajah-wajah manusia yang berkeringat dan penuh air mata. Tubuhnya diselamatkan, tetapi sebagian jiwanya akan selamanya tinggal di antara puing-puing itu. Di tempat di mana ia belajar bahwa batas antara dunia nyata dan alam malakut kadang hanya setebal tirai debu, dan kadang-kadang, tirai itu tersibak oleh senyum polos seorang anak yang mengajaknya sholat di ambang pintu keabadian.

Gresik, 22 Oktober 2025.

Penulis: Zuhdi Amin

Baca Juga
Tag:
Posting Komentar