![]() |
| Para pemenang lomba dan Kepala Sekolah (Sastrapantura/Zuhdi) |
SASTRAPANTURA, GRESIK - Merawat Ruh Literasi di Bantaran Pantura. Di bawah langit Desember yang teduh, geliat sastra dan seni spiritual kembali menemukan denyutnya di tepian Bantaran pantai utara. Madrasah Aliyah Ihyaul Ulum Cangaan, Ujung Pangkah, menjadi saksi sekaligus tuan rumah bagi riuh rendah kreativitas anak-anak muda Gresik-Lamongan. Gelaran MACAN Fest yang kedua ini bukan sekadar perlombaan, melainkan sebuah ikhtiar kolektif untuk merawat ruh literasi di kawasan bersejarah Pantura.
Festival yang digelar pada 7 Desember 2025 ini dibuka dengan lantunan sholawat dan banjari yang mengalun khidmat. Aroma kebersamaan dan kecintaan pada seni bernafas Islami langsung terasa menyelimuti seluruh ruangan. Pembukaan yang dilakukan langsung oleh Kepala Madrasah menandai dimulainya sebuah perjalanan estetika yang penuh makna.
Berbagai sekolah tingkat SMP dan Tsanawiyah turut meramaikan ajang bergengsi ini dengan mengirimkan perwakilan terbaik mereka. Antusiasme peserta yang mencapai jumlah cukup besar membuktikan bahwa minat generasi muda terhadap puisi, pidato, dan kaligrafi tetap hidup. Suasana kompetitif pun berpadu harmonis dengan semangat untuk saling belajar dan mengapresiasi.
Para Penjaga Kualitas di Balik Layar Lomba
Kualitas sebuah festival sangat ditentukan oleh kredibilitas para juri yang menilainya. MACAN Fest ke-2 menghadirkan sederetan nama yang mumpuni di bidangnya, menjamin penilaian yang tidak hanya adil tetapi juga edukatif. Setiap juri membawa laut pengalaman dan keahliannya masing-masing, siap memberikan pencerahan bagi para peserta.
Untuk bidang puisi, dewan juri dipercayakan kepada Gus Roin, seorang budayawan Gresik yang kental dengan narasi keseharian masyarakat, dan M. Zuhdi Amin, pegiat sastra Pantura yang paham betul denyut nadi kesastraan di pesisir utara Jawa. Kombinasi keduanya mewakili dialektika antara tradisi pesantren dan dinamika sastra kontemporer.
Lomba pidato diserahkan kepada Rakay Lukman, Ketua Lesbumi PCNU Gresik, dan Rikhwan Rifa'i, sastrawan Gresik yang karyanya telah melanglang buana. Keduanya diharapkan mampu menakar tidak sekadar teknik retorika, tetapi juga kedalaman isi dan pesan yang disampaikan peserta. Sementara itu, lomba kaligrafi diawasi oleh seniman asal Sidayu, Mas Ferdi, yang diharapkan dapat membaca setiap goresan lafadz sebagai doa yang divisualkan.
"Menilai karya anak-anak adalah tugas yang penuh tanggung jawab. Kami mencari benih-benih kejujuran ekspresi dan ketajaman nalar di balik setiap kata dan gerak," papar Rakay Lukman.
"Kaligrafi bukan sekadar tulisan indah. Ia adalah meditasi, di mana setiap lengkung dan titik membawa dzikir yang diejawantahkan ke atas kertas," tutur Mas Ferdi.
Makna yang Mengalir di Balik Setiap Perlombaan
Setiap kategori lomba dalam MACAN Fest dirancang untuk membangun kompetensi yang holistik bagi peserta. Lomba baca puisi menekankan pada penghayatan dan kemampuan menyampaikan rasa, sementara lomba pidato melatih ketajaman argumentasi dan keberanian menyuarakan gagasan. Di sisi lain, lomba kaligrafi melatih kesabaran, ketelitian, dan penyucian jiwa melalui keindahan visual ayat-ayat suci.
Trilogi lomba ini puisi, pidato, kaligrafi sejatinya adalah tiga mata rantai yang saling terkait. Puisi melatih kepekaan rasa, pidato mengasah ketajaman nalar dan keberanian berbicara, sedangkan kaligrafi mendidik ketenangan jiwa dan penghormatan pada teks. Ketiganya bersinergi membentuk pribadi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual.
Dengan demikian, MACAN Fest melampaui definisi sebuah event kompetisi semata. Ia lebih tepat disebut sebagai laboratorium budaya tempat generasi muda belajar mengolah kata, merangkai gagasan, dan memuliakan huruf. Tempat di mana mereka diajak untuk merenung, berkontemplasi, lalu mengekspresikan renungan itu dalam bentuk yang indah dan bermakna.
"Dalam kegiatan ini, mereka belajar bahwa seni adalah jalan mendekatkan diri pada ilahi lewat jalan spiritual dan penempaan diri" imbuh Gus Roin.
![]() |
| Juara lomba baca puisi bersama Gus Roin Budayawan Gresik (Sastrapantura/Zuhdi) |
"Kegiatan seperti ini adalah investasi peradaban. Dari forum kecil inilah, kelak akan lahir penjaga-penjaga tradisi dan pemikir-pemikir baru untuk Gresik-Lamongan," pungkas Rikhwan Rifa'i.
Cangaan Ujung Pangkah: Titik Temu Semangat dan Harapan
MA Ihyaul Ulum Cangaan Ujung Pangkah sebagai tuan rumah penyelenggaraan mengandung pesan simbolis yang dalam. Lokasi yang berada di ‘ujung’ ini seolah menjadi penanda bahwa semangat literasi harus sampai dan tumbuh bahkan di daerah yang sering dianggap sebagai pinggiran. Cangaan Ujung Pangkah justru membuktikan diri sebagai pusat gelora kreativitas yang tak terbendung.
Dukungan penuh dari kepala sekolah dan segenap civitas akademika madrasah menjadi tulang punggung kesuksesan acara ini. Mereka menyediakan bukan hanya ruang fisik, tetapi juga dukungan moral dan spiritual agar acara berjalan lancar dan bermakna. Kolaborasi yang erat antara penyelenggara, dewan juri, dan pihak sekolah menciptakan ekosistem yang sehat bagi pertumbuhan bakat muda.
Keberhasilan MACAN Fest ke-2 ini menjadi beacon of hope bagi masa depan kesenian dan literasi di wilayah Gresik Pantura. Kegiatan ini menunjukkan bahwa minat terhadap sastra dan seni Islami masih sangat kuat, tinggal bagaimana kita menyediakan wadah yang tepat dan berkualitas. Harapannya, gelaran ini akan terus berlanjut dan berkembang, merangkul lebih banyak sekolah dan melahirkan lebih banyak bakat.
Festival ini telah menutup rangkaian acaranya dengan khidmat, namun gaungnya akan terus bergema. Setiap puisi yang dibacakan, setiap pidato yang disampaikan, dan setiap goresan kaligrafi yang dibuat, telah menjadi benih yang ditanam di hati generasi muda. Kini, kita hanya perlu menunggu dengan penuh haru, kapan benih-benih itu akan tumbuh menjadi pohon peradaban yang rindang dan berbunga indah, menghiasi bumi Pantura tercinta.
Penulis: Zuhdi

