Iklan Tintanesia
Promosi
Scroll untuk melanjutkan membaca

Langkah Sunyi Zubaidah

 

Foto diambil oleh penyair saat berada di istana kuning kalimat tengah (Sastrapantura/Zuhdi) 

SASTRAPANTURA

Dunia Dalam Bingkai Jendela Kamar, kabut tipis selalu menyelimuti lembah saat fajar, memberikan siluet samar pada bentuk atap rumah dan pucuk pepohonan. Di balik sebuah jendela kayu yang catnya mulai terkelupas, sosok Zubaidah duduk menghadap meja belajar sederhana. Peta dunia terpampang di dinding, penuh dengan tanda pin berwarna dan coretan kecil dalam bahasa asing. Setiap buku di raknya, meski sebagian bekas dan lusuh, menjadi jendela lain menuju kota-kota yang namanya terasa magis. Suara ayam berkokok dan dentang lesung dari kejauhan menjadi soundtrack tetap bagi mimpinya. Namun, bingkai jendela itu bukan hanya pembatas pandangan. Bingkai itu adalah metafora nyata dari tradisi yang membelenggu. Sebuah bisikan halus namun keras selalu bergema, tradisi menuntut anak perempuan tunggal untuk tetap berada di tanah kelahiran, merawat orang tua dan adat yang telah berurat berakar. Meja belajar itu menjadi pulau terpisah, tempat imajinasi menjelajah Oxford atau Paris, sementara kakinya dianggap harus berpijak tetap di tanah ini selamanya. Pertentangan batin itu tajam bagai pisau, setiap tatapan ke peta dunia diiringi rasa bersalah yang menyayat. Cita-cita untuk mempelajari sastra dan seni di mancanegara bukanlah keinginan kosong. Keinginan itu adalah denyut nadi yang terdengar jelas di tengah kesunyian malam, ketika buku-buku menjadi satu-satunya teman dialog.

Teguh dalam diam, kuat dalam sunyi, larangan sang ibu tidak disampaikan dengan teriak atau amarah. Larangan itu tersaji dalam setiap senyap yang bermakna, dalam setiap cerita tentang nenek buyut yang tidak pernah melangkah lebih jauh dari batas sawah terakhir. Kata-kata penolakan terselubung dalam nasihat tentang kewajiban, tentang betapa rapuhnya sebuah garis keturunan jika anak perempuannya pergi terlalu jauh. Zubaidah memahami beban sejarah yang dipikul ibunya, sebuah tanggung jawab turun-temurun untuk menjaga api tradisi tetap menyala. Namun, api lain juga menyala dalam dirinya, api keingintahuan dan hasrat untuk memberi makna baru pada warisan leluhurnya. Impian yang dikandungnya tidak serta merta kandas. Impian itu berubah bentuk, bertransformasi dari keinginan untuk pergi secara fisik menjadi tekad untuk membawa dunia datang kepadanya. Langkah fisik mungkin terhalang, tetapi langkah pikiran dan kreativitas tidak bisa dibelenggu. Sebuah kesadaran baru tumbuh, bahwa wanita muda harus memiliki suara. Suara itu tidak selalu harus melengking dari seberang lautan. Suara itu bisa menggema dari meja belajar di kamarnya, melalui tulisan-tulisan yang lahir dari pergulatan batin yang mendalam.

Membuka jalan baru dengan pena, keputusan akhir tidak lagi tentang keberangkatan fisik. Keputusan itu tentang penciptaan sebuah ruang baru. Zubaidah mulai menulis. Setiap paragraf yang lahir adalah perjalanan. Setiap karakter yang diciptakan adalah penggambaran dari bagian dirinya yang merindu. Karya-karyanya tidak lagi berpusat pada mimpi pergi, tetapi pada upaya mendialogkan tradisi lokal dengan wacana global. Sebuah cerpen tentang motif tenun desanya bisa menjadi kajian semiotika yang rumit. Kisah tentang ritual tanam padi bisa dibaca sebagai metafora filosofis yang universal. Perlahan, melalui jaringan daring dan ketekunannya, tulisannya mulai diperhatikan. Sebuah beasiswa riset jarak jauh dari universitas asing akhirnya datang. Beasiswa itu tidak mengharuskannya meninggalkan kampung halaman, tetapi justru mendanai penelitiannya untuk mendokumentasikan dan mengangkat kearifan lokal desanya ke kancah internasional melalui perspektif sastra. Cita-cita itu tidak menjadi cerita dusta. Cita-cita itu menemukan jalannya sendiri, sebuah jalan yang tidak membelakangi tradisi, tetapi justru memperdalam akarnya sambil menjulangkan dahannya tinggi-tinggi hingga bisa menyentuh awan yang sama yang dilihatnya dari balik jendela kamar. Perjuangan batinnya membuahkan pemahaman bahwa kekuatan dan suara bisa lahir dari cara pandang yang berbeda, bahwa terkadang penjelajahan terdalam justru dimulai dari ketidakmampuan untuk pergi jauh secara fisik, tetapi dengan kemampuan untuk melihat yang dekat dengan mata yang sangat tajam dan hati yang sangat luas.

Kalimantan Tengah, 23 Oktober 2023

Penulis: Zuhdi Amin

Baca Juga
Tag:
Posting Komentar