![]() |
| Ilustrasi puisi saat penyair melihat pertunjukan pementasan (SASTRAPANTURA/Zuhdi) |
Merdeka itu?
Bukan sekadar tembang usang yang dikumandangkan gerbong-gerbong waktu, bukan bendera yang berkibar di langit-langit lapangan upacara.
Ia adalah ruang napas yang masih tersekat di antara dinding-dinding sempit,
di lorong-lorong kota di mana matahari enggan menyapa.
Sebuah janji yang teronggak bagai puing, ditatap oleh mata yang telah hafal betapa pahitnya garam yang menetes di pelipis.
Di sini, kemerdekaan adalah kata benda yang diam, menunggu dirajah oleh teriakan yang tak kunjung lahir dari kerongkongan yang terikat ilalang.
Lalu, dari sudut-sudut yang remang, terdengar lirih tentang sebuah jembatan.
Namanya Pendidikan. Jembatan itu dikisahkan mampu mengangkut manusia dari lembah nan kelam menuju dataran terang. Namun, kenyataannya, jembatan itu rapuh, bergantung pada koin-koin emas yang tak terjangkau oleh genggaman tangan-tangan yang biasa membelah bumi.
Buku-buku berdebu di sudut kelas menjadi metafora pilu; sampulnya yang usang adalah cermin dari mimpi-mimpi yang terkikis, sementara di seberangnya, anak-anak menatap layar dengan pijar yang berbeda, menerawang masa depan yang telah terpeta rapi.
Dan rakyat kecil? Suara mereka adalah puisi yang tak terbaca. Sebuah sajak semiotika yang tertulis di setiap kerutan di dahi petani, di setiap lenguhan tukang becak menanjak jalan, di setiap desahan nelayan yang berperang dengan ombak untuk sesuap keyakinan. Itulah jeritan yang tak berbunyi, sebuah tanda yang meminta penafsiran: bahwa merdeka yang sejati adalah ketika roti dan huruf bisa berjabat tangan, ketika semua kata-kata indah tentang keadilan tak lagi menjadi metafora belaka, tapi menjadi daging dan darah yang mengalir dalam nadi bangsa. Atau, akankah kita biarkan jeritan itu tetap menjadi puisi sunyi yang hanya dipahami oleh angin?
Penulis :Zuhdi
