Iklan Tintanesia
Promosi
Scroll untuk melanjutkan membaca

Ketika Bayangan Membaca Sunyi

Ilustrasi meminum kopi sebelum penyair menulis puisi. (SASTRAPANTURA)

Parasit Kuadrat

Parasit Kuadrat bukan sekadar nama. Ia seperti bayangan yang menempel pada cahaya, menunggu saat redup agar dapat mengambil alih. Ia tumbuh sebagai angka ganjil dalam hitungan hidup, merusak keseimbangan, mengacaukan langkah, membuat segalanya terasa seperti persamaan yang sejak awal salah dirumuskan.

Ia hadir seperti bunga di tanah retak, tampak indah tetapi memakan napas akar lain. Ia bertepuk tangan ketika luka berbicara dan diam ketika jiwa berusaha sembuh. Di kepala ia menulis rumus sederhana namun kejam, bahwa (aku + kamu= kehilangan).

Kadang ia hanya garis tipis yang bersua, manusia hanyalah angka yang bisa dikurangi. Ia noda pada cermin yang membuat bayangan sendiri tampak seperti keburukan yang dibesarkan. Ia tidak pernah berteriak. Ia memilih menjadi bisikan yang perlahan menyingkirkan harapan.

Namun ia selalu menyisakan pertanyaan. Apakah ia musuh yang harus dimusnahkan atau cermin yang harus diakui keberadaannya. Tanpanya mungkin manusia tidak akan pernah benar-benar belajar bangkit ketika mencari napas, atau ketika gelap terlalu menekan.

Banyak Bicara

Ada mulut yang meneteskan kata seperti keran tua di ruang sunyi. Setiap suaranya menjelma kawanan burung bingung, berputar-putar di langit pikiran yang retak seperti kaca usang. Diam berdiri di sudut ruangan, menyerupai patung batu dengan mata yang tahu terlalu banyak. Kata-kata melompat seperti api kecil yang takut padam, membakar udara agar rahasia tetap menjadi asap.

Di dalam kepalanya, kalimat berdesakan seperti serigala yang saling mencium bau takutnya sendiri. Suara mengalir seperti sungai yang tidak tahu arah, tetapi tetap berjalan agar keheningan tidak tumbuh menjadi hutan gelap. Telinga di luar sana hanya mendengar nyanyian, padahal di baliknya tersembunyi topeng kaca yang memantulkan wajah yang belum selesai diciptakan.

Lalu suatu hari, kata-kata jatuh seperti daun kering lepas dari ranting. Sunyi mendekat seperti bulan tua yang tidak lagi mengejar malam. Tanpa bicara, ruangan berubah menjadi cermin. Segala yang pernah disembunyikan berdiri seperti bayangan yang akhirnya diberi cahaya.

Dan ketika suara berhenti, keramaian tetap menyala dalam dada seperti kota yang tak pernah tidur. Di sana, hening berubah menjadi pintu. Bicara menjadi kunci yang patah. Dua hal berbeda, tetapi berasal dari logam yang sama.

Kamu Terlalu Sombong

Ada sosok yang berjalan seperti matahari palsu, yakin semua harus berputar mengelilinginya. Di kepalanya berkibar bendera kemenangan yang bahkan belum dimulai. Ia melangkah seperti patung raja di alun-alun, kokoh di luar, kosong di dalam. Udara di sekitarnya seperti menghindar, seakan tahu ia lebih sibuk memuja bayangannya sendiri.

Kesombongan itu tumbuh seperti menara dari garam. Tinggi, megah, namun takut hujan. Senyumnya serupa topeng porselen yang selalu ingin tampak sempurna, meski retak halus mulai tumbuh di sudut-sudutnya. Ia hidup sebagai cermin yang hanya memantulkan bagian terbaik, sementara bagian rapuhnya dihapus seperti jejak kapur di papan tulis.

Kata-kata keluar dari bibirnya seperti kembang api, terang sesaat, lalu jatuh sebagai abu. Ia mengira setiap pasang mata adalah matahari yang bersinar untuknya, setiap diam adalah penyembahan sunyi. Padahal sebagian hanya membaca jarak, dan sebagian lain menonton kesia-siaan yang sengaja dipamerkan.

Namun waktu selalu menjadi angin yang sabar. Menara garam akhirnya mencair. Topeng porselen retak semakin jelas. Sorot mata yang dulu ingin ditelan kini berubah menjadi cermin yang memaksa melihat diri apa adanya. Balon keangkuhan yang terbang terlalu tinggi pun meletus, menyisakan bunyi kecil yang bahkan tidak sempat bergema.

Akhirnya hidup berbicara dengan suara senyap. Semua ketinggian akan kembali menjadi tanah. Semua ego akan menjadi debu. Yang bertahan bukan langkah yang ditinggikan, melainkan hati yang mau menunduk dan belajar bahwa cahaya tak selalu datang dari tempat tertinggi, kadang justru dari lilin kecil yang diam tetapi mampu menerangi ruangan yang lupa arti sederhana.

Kamu dan Dewa Pemalas

Di sore yang menggantung seperti pakaian basah, kamu bertemu dewa pemalas di dalam cermin yang retaknya menyerupai peta dunia yang kehilangan kompas. Ia duduk seperti takhta yang lupa kerajaan, mengunyah waktu seperti permen karet yang sudah kehilangan rasa. Kamu bertanya dengan tatap, bukan kata, dan ia menjawab dengan bahu yang lebih tua dari sejarah.

Marahmu berkibar seperti bendera perang tanpa tentara. Anginnya hilang entah kemana. Dewa pemalas tersenyum, senyum yang membuat jarum jam seperti malas berdetak. Ia berbisik bahwa waktu hanya aktor yang pura-pura sibuk, dan manusia pemeran figuran yang terlalu percaya panggungnya nyata.

Di meja kopi, gula larut perlahan seperti ambisi yang kehabisan cahaya. Sendok terbaring seperti pedang yang tidak pernah digunakan. Kamu ingin menyebut hidup kompetisi, tapi tawa dewa pemalas terdengar seperti genting yang pecah oleh angin pelan. Baginya hidup bukan lomba, melainkan labirin yang terus mengubah pintu keluar. Yang kalah bukan yang lambat, tapi yang kehilangan diri sebelum sampai ke pintu mana pun.

Kadang kamu ingin menaklukkan langit seperti burung yang lupa bahwa ia pernah telur. Tapi dewa pemalas bersandar di bahumu seperti awan yang tidak ingin jadi hujan. Ia menunjuk lantai, seolah di sanalah gunung bersembunyi. Ia menunjuk napasmu, seolah di sanalah perjalanan paling jauh sedang berlangsung.

Perlahan, kamu mengerti bahwa diam bukan tidur, tapi kepompong. Bahwa lambat bukan jeda, tapi musim. Bahwa pohon tidak bergerak, tapi akar bekerja tanpa tepuk tangan.

Dan akhirnya, kamu tidak lagi menyumpahi dewa pemalas sebagai beban. Ia berubah menjadi jam pasir yang tanpa suara mengingatkan bahwa gerak bukan soal cepat atau lambat, tetapi arah yang tidak mengkhianati diri.

Di titik itu, kamu tidak lagi berlari atau berhenti. Kamu menjadi langkah yang tahu kapan menjadi bunyi, kapan menjadi sunyi, dan kapan menjadi hening yang justru paling bergerak.

(SASTRAPANTURA) 

Baca Juga
Tag:
Posting Komentar