Iklan Tintanesia
Promosi
Scroll untuk melanjutkan membaca

Festival Merpati 2025 Merajut Kebhinekaan dalam Bingkai Sastra

Pemberian cinderamata oleh kepala sekolah pada Narasumber (SASTRAPANTURA/Zuhdi) 

SASTRAPANTURA, GRESIK. Langit Lamongan pada siang itu memayungi sebuah gelora semangat kebudayaan. Aula Pondok Pesantren Sunan Drajad menjadi ruang akbar pertemuan berbagai rasa dan pikiran. Suasana hening namun penuh antusiasme menyambut setiap ucapan yang lahir dari para pembicara. Pada sebelas November dua ribu dua puluh lima, sebuah peristiwa sastra bertajuk Festival Merpati 2025 digelar. Sekolah Menengah Kejuruan Sunan Drajad Lamongan dengan penuh keyakinan memilih tema besar Bhinneka Tunggal Sastra. Tema tersebut bukan sekadar slogan, melainkan sebuah pisau bedah untuk mengupas keragaman ekspresi dan kekayaan batin yang disatukan oleh bahasa. Sekitar dua ratus pasang mata hadir, menyimak, menyerap setiap gugusan makna yang terangkai dalam workshop penulisan dan pembacaan puisi.

Gagasan Bhinneka Tunggal Sastra mengandaikan sebuah pengakuan akan keberagaman sudut pandang, latar belakang, dan gaya tutur. Setiap individu membawa dunianya masing-masing, lalu merajutnya menjadi sebuah mozaik indah bernama sastra. Acara ini menjadi bukti nyata bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan benang-benang warna-warni dalam tenun kebudayaan yang lebih luas. Sastra hadir sebagai lingua franca, bahasa pemersatu yang mampu menjembatani sekat-sekat ideologi, usia, dan pengalaman. Dalam konteks ini, aula pesantren bukan hanya sekadar bangunan fisik, melainkan sebuah semiotika ruang sakral tempat ilmu dan inspirasi ditransmisikan. Dinding-dindingnya menyaksikan pertemuan antara tradisi pesantren dengan dinamika kesenian kontemporer.

Dewi Musdalifah dan Suara Sastra dari Gang Sebelah

Sebagai narasumber pertama, kehadiran Dewi Musdalifah membawa angin segar wacana kesastraan. Pengasuh Yayasan Gang Sebelah ini bukanlah nama asing di peta sastra Indonesia maupun internasional. Penyair wanita asal Gresik ini telah melanglang buana, membawa suara sastra dan perspektif perempuan ke pentas dunia. Pemaparannya tidak berpusat pada teori-teori berat, melainkan pada pengalaman empiris membangun ruang kreatif dari level akar rumput. Yayasan Gang Sebelah menjadi contoh nyata bagaimana sastra bisa hidup dan tumbuh dari lingkungan terkecil, dari sebuah ‘gang’ yang justru melahirkan perspektif global.

Dewi Musdalifah menekankan pentingnya keberanian untuk bersuara. Bagi dia, sastra adalah medium untuk mendokumentasikan denyut nadi zaman, khususnya dari kacamata perempuan. Setiap puisi yang lahir merupakan sebuah pernyataan politik eksistensi. Dalam konteks Bhinneka Tunggal Sastra, perjalanannya menunjukkan bahwa suara dari gang di Gresik memiliki resonansi yang sama kuatnya dengan suara dari pusat-pusat kebudayaan besar. Ini merupakan dekonstruksi terhadap hierarki dalam dunia sastra. Karya yang jujur dan otentik, terlepas dari asalnya, akan menemukan jalannya sendiri untuk menyentuh hati pembaca dari berbagai belahan dunia.


Zuhdi Amin dan Sastra Pantura yang Religius serta Nyeleneh

Narasumber kedua, Zuhdi Amin, menghadirkan warna yang berbeda sekaligus melengkapi. Seniman dan sastrawan Pantura yang kerap disapa Zuhdi Swt ini dikenal melalui karya-karya yang kental dengan nuansa religiusitas. Namun, pendekatannya terhadap tema-tema keagamaan kerap dianggap nyeleneh, unik, dan tidak terduga. Dalam paparannya, Zuhdi Swt membongkar dikotomi antara yang sakral dan yang profan. Baginya, sastra adalah medium untuk menemukan yang transenden dalam hal-hal yang sehari-hari, dan sebaliknya. Gagasannya dalam garapan pertunjukan selalu memicu diskusi, memaksa audiens untuk melihat realitas dari kaca mata yang berbeda.


Keahliannya dalam memimpin workshop teater dan kerap menjadi juri di berbagai kota memberikannya kredibilitas mendalam. Zuhdi Swt membagikan teknik menulis yang berangkat dari observasi mendalam terhadap kehidupan di sekitar Pantura. Kekhasan budaya pesisir, dinamika sosial, dan nilai-nilai keislaman tradisional diramu menjadi karya yang segar. Gaya ‘nyeleneh’ yang melekat padanya sesungguhnya adalah sebentuk kritik terhadap kemapanan dan kebekuan berpikir. Dalam kerangka Bhinneka Tunggal Sastra, kehadiran Zuhdi Swt mewakili keberanian untuk berbeda, untuk menafsir ulang tradisi, dan untuk menciptakan bahasa estetika yang personal tanpa kehilangan akar kulturalnya.

Suasana Festival Merpati di aula pondok pesantren(SASTRAPANTURA/Zuhdi) 


Mozaik Sastrawan Pantura dan Semangat Regenerasi

Festival Merpati 2025 menjadi pentas bagi menguatnya jaringan sastrawan Pantura. Hadirnya tokoh-tokoh seperti Gus Roin Sidayu, Rakay Lukman, Aulia Fahmi, Afif Caleg, Anung, Mas Pandu, dan Djenar Khuzaini menciptakan sebuah energi kolaboratif yang jarang ditemui. Masing-masing nama tersebut membawa ciri khas dan kekuatan literer yang saling berinteraksi. Mereka bukan hanya hadir sebagai simbol, melainkan sebagai bagian aktif dari proses kreatif selama acara berlangsung. Interaksi antara para sastrawan senior dengan peserta workshop menciptakan dialektika yang produktif.

Unsur yang paling menggembirakan dari acara ini adalah partisipasi aktif siswa-siswi sebagai pembaca puisi. Keberanian mereka untuk tampil di hadapan para empu sastra merupakan sebuah statement optimis untuk masa depan sastra Indonesia. Regenerasi tidak lagi menjadi wacana, tetapi aksi nyata. Setiap puisi yang dibacakan oleh generasi muda ini adalah embrio dari karya-karya besar di masa depan. Mereka belajar langsung dari sumbernya, menyerap energi, dan mendapatkan pengakuan. Proses ini jauh lebih bermakna daripada sekadar pembelajaran di dalam kelas. Festival Merpati 2025 berhasil menciptakan ekosistem sastra yang inklusif, di mana setiap suara, baik yang sudah mapan maupun yang baru merintis, mendapatkan tempat untuk berdialog dan tumbuh bersama. Acara ini menjadi bukti bahwa semangat Bhinneka Tunggal Sastra bukanlah utopia, melainkan sebuah praktik nyata yang terus dirawat dan diperbarui.

Penulis: Zuhdi

Baca Juga
Posting Komentar