Iklan Tintanesia
Promosi
Scroll untuk melanjutkan membaca

Ketika Diam Menjadi Lawan

Ilustrasi kursi kayu tua di sudut ruangan dengan cahaya lembut dari jendela dan buku terbuka bertuliskan kata “Mulai”.
Ilustrasi tentang kursi tua yang diam, halaman kosong, dan satu kata yang akhirnya dituliskan setelah sekian lama.

Di sudut ruangan itu, berdirilah sebuah kursi tua. Warnanya memudar dan kayunya retak halus, seperti seseorang yang telah terlalu lama menyimpan cerita. Kursi itu sudah berada di tempat yang sama bertahun tahun, dan tidak ada satu pun yang berani memindahkannya.

Setiap hari, seorang lelaki datang dan duduk di atasnya. Ia meletakkan tubuhnya perlahan, seperti seseorang yang tidak yakin apakah ia sedang beristirahat atau sedang menyerah.

“Besok,” katanya pelan suatu sore, “Aku akan mulai menulis.”

Seolah menjawab, lantai kayu di bawah kursi berderak pelan.

Ia tersenyum hambar. “Jangan menghakimi. Aku hanya menunggu waktu yang tepat.”

Senja diam. Kursi diam. Tetapi diam yang itu terdengar seperti kalimat.

Beberapa hari setelahnya ia kembali mengulang kalimat yang sama.

“Besok,” katanya lagi. “Aku butuh tenang dulu.”

Namun suatu malam, setelah terlalu lama membiarkan waktu berjalan sendirian, ia memandang kursi itu lebih lama.

“Apa kau lelah menungguku?” gumamnya.

Tentu saja kursi tidak menjawab. Namun entah bagaimana, dalam diamnya, muncul sesuatu yang terasa seperti: 

(Aku bukan yang kau tunggu. Kau menunggu dirimu sendiri.)

Lelaki itu tertawa pelan. Tawa yang mirip ringkihnya kaca ketika disentuh dingin.

***

Pagi berikutnya ia membuka pintu rumah dan keluar. Udara pagi menerpa wajahnya, dan ia merasa aneh karena dunia ternyata masih berjalan meski ia lama berhenti.

Di taman ia menemukan bangku kayu lain.

“Hanya duduk,” katanya pada dirinya sendiri. “Bukan langkah besar.”

Ia mengeluarkan buku kecil. Memandangi halaman kosong. Lama sekali.

“Mulai,” bisiknya.

Namun jari jarinya ragu.

Tiba tiba seorang anak kecil lewat dan menatapnya penasaran.

“Kenapa tidak ditulis saja?”

Lelaki itu terkejut. “Aku… sedang menunggu inspirasi.”

Anak itu tertawa. “Inspirasi tidak suka ditunggu. Dia suka dikejar.”

Kemudian anak itu pergi begitu saja, seperti angin yang datang tanpa alasan.

Lelaki itu akhirnya menuliskan satu kata.

Mulai.

Ia menatap kata itu lama.

“Ini saja dulu,” katanya kepada buku itu, seolah buku itu pendengar setia.

Buku itu tidak menjawab. Tapi halaman kosong berikutnya seperti berkata:

Aku masih banyak. Aku menunggu.

***

Beberapa hari setelahnya ia kembali ke rumah lebih cepat dari biasa. Kursi tua itu masih di sudut ruangan, seperti kenangan yang belum selesai.

Ia mendekatinya. Menyentuh sandarannya.

“Aku tidak kembali,” katanya pelan. “Tapi aku juga tidak pergi.”

Kursi itu tetap diam. Namun diam itu kini tidak lagi berat. Tidak lagi menahan. Tidak lagi memanggil.

Lelaki itu menarik napas.

“Mungkin suatu hari aku duduk lagi,” katanya. “Bukan untuk menunda, tapi untuk hal lain.”

Ia tersenyum kecil. “Kau boleh tetap di sini.”

Ia membuka tirai jendela. Cahaya masuk.

Ruangan terasa berbeda. Bukan karena kursi berubah, melainkan karena lelaki itu kini tidak lagi sama.

Sebelum tidur ia berbisik pada dirinya sendiri: “Aku sudah mulai. Itu cukup.”*

Baca Juga
Tag:
Posting Komentar