Iklan Tintanesia
Promosi
Scroll untuk melanjutkan membaca

Kursi Terakhir

Monolog teater di panggung gelap dengan satu kursi tua dan aktor menolong sosok tak terlihat di bawah sorot lampu spotlight.
Ilustrasi pertunjukan monolog dengan kursi tua sebagai saksi waktu dan dialog batin manusia.

(Panggung gelap. Satu lampu spotlight menyala pelan. Di tengah panggung ada kursi tua. Karakter berdiri beberapa langkah darinya.)

TOKOH:

(bernapas pelan, seperti baru bangun dari mimpi panjang)

Lucu ya… betapa lama aku duduk di kursi itu. Tidak untuk bekerja. Tidak untuk membangun hidup.

Hanya duduk…dengan alasan yang kubuat sendiri.


(tersenyum pahit)

Setiap hari aku bilang begini:

“Besok. Aku mulai besok.” Lalu esok datang…dan aku berkata lagi, “Ah… besok lagi.”


(melihat kursi seolah bicara dengannya)

Aneh ya. Kursi ini tidak pernah mengeluh.

Ia hanya diam. Tapi diamnya…kadang lebih keras daripada suara manusia.


(berjalan mendekat perlahan, tetapi belum menyentuh kursi)

Pernah suatu malam aku tanya padamu, kursi tua: “Apakah kau bosan menungguku?”


Dan meskipun kau tidak bicara, aku merasa ada jawaban yang menggantung di udara:

“Yang menunggu itu bukan aku. Yang kau tunggu adalah dirimu sendiri.”


(tertawa pelan, seperti menertawakan kebodohan masa lalu)

Aku kira aku malas. Ternyata aku takut.

Takut gagal. Takut hasilnya tidak seindah rencana. Takut dunia melihatku sebelum aku siap.


(diam. menatap lantai. suara lembut.)

Padahal…tidak ada manusia yang benar-benar siap. Yang ada hanya yang…mulai.


(langkah kecil menuju kursi, tetapi tidak duduk.)

Hari itu aku meninggalkanmu, kursi tua. Aku pergi ke taman. Duduk di bangku lain. Dan seseorang bertanya kepadaku, “Kenapa tidak ditulis saja?”

Aku jawab, "Aku sedang menunggu inspirasi."

Dan anak kecil itu tertawa sambil berkata,

“Kalau begitu, kau akan menunggu selamanya. Inspirasi tidak menunggu. Inspirasi itu dikejar.”


(tersenyum. mengambil buku dari saku, membuka halaman kosong, menunjukkannya ke arah penonton.)

Satu kata. Hanya satu. Yaitu MULAI. Itu yang kutulis hari itu. Tidak banyak. Tidak hebat. Tidak sempurna. Tapi setelah itu…aku berubah.


(perlahan mendekati kursi, menyentuh sandarannya.)

Sering aku kembali ke sini. Tidak untuk menyerah. Tidak untuk diam. Hanya untuk mengingat…bahwa aku pernah terjebak di dalam diriku sendiri. Dan aku keluar.


(menghela napas lega, menatap penonton.)

Kini aku tahu…kursi tua ini bukan penjara. Ia monumen. Pengingat. Kesaksian dari seseorang yang pernah takut…dan akhirnya berjalan.


(meletakkan buku di kursi perlahan.)

Aku tidak tahu apa aku akan kembali duduk di sini suatu hari nanti.

Mungkin ya. Mungkin tidak. Tapi sekarang… aku memilih melangkah.


(menjauh pelan dari kursi.)

Karena seseorang yang sudah mulai…tidak pernah benar-benar kembali menjadi diam.


(lampu meredup. satu spotlight terakhir menyinari kursi. Sunyi.)

Baca Juga
Tag:
Posting Komentar