Iklan Tintanesia
Promosi
Scroll untuk melanjutkan membaca

Kursi Tua, Jangan Jatuh Cinta

Kurai tua sendirian di dekat tembok
Ilustrasi kursi tua (Ilustrasi) 

Ada kursi tua di sudut ruangan yang mengenang tubuhku-
seperti gurun mengenang hujan yang hanya lewat dalam mimpi pasir.
Ia tidak memanggilku,
hanya menunggu,
seperti luka menunggu kata maaf
yang tak pernah menjadi suara.

Di atas meja,
kunci kecil berkilau pucat—
bukan cahaya,
melainkan kemungkinan yang menua dalam diam.
Ia seperti bintang yang bosan menunggu pelaut
yang tak kunjung belajar membaca langitnya sendiri.

Jam berdetak,
tapi jarumnya enggan menikam waktu.
Ia hanya berputar pelan seperti tarian burung malam yang takut jatuh cinta pada gelap.
Dan setiap detaknya meninggalkan jejak samar,
seperti langkah yang tercetak di pasir pikiran,
lalu hilang sebelum menjadi arah.

Kereta di dalam kepalaku menghidupkan mesin,
namun rel-rel rencana hanya memanjang tanpa keberangkatan.
Gerbong mimpi membuka pintunya,
tapi tubuhku masih menjadi batu yang pura-pura paham tujuan.

Kadang angin masuk lewat celah jendela, membawa bau jalan yang belum pernah kukenal.
Ia menyentuh kulitku seperti pertanyaan yang sopan namun menohok: "Berapa lama lagi kau akan menjadi kemungkinan?”

Dalam dada,
ada badai yang direm angin kecil yang ragu menjadi keputusan.
Gelombangnya ingin menghantam,
namun lautnya memilih tenang karena takut kehilangan bentuk.

Aku memandang ruang ini:
dinding ragu,
lantai penundaan,
langit-langit yang rendah seperti doa yang kelelahan.
Semua diam,
namun diamnya berbunyi—
seperti rahasia yang lupa dikunci.

Aku duduk.
Merasakan tubuhku menjadi bayangan
yang setia pada benda
yang tidak pernah benar-benar berdiri.

Lalu malam datang,
membawa bulan yang menua pelan—
seperti wajahmu ketika menunggu jawaban
yang sudah kau tahu tidak akan kau terima.

Dalam cahaya remangnya,
kunci di meja masih bersinar:
bukan memanggil,
hanya mengingatkan bahwa pintu tidak akan lelah
membiarkan dirinya belum dibuka.

Dan jauh dari kata,
jauh dari tekad,
jauh dari gerak,
aku mendengar angin kecil itu
akhirnya berkata: “Gerak tidak harus besar. Gerak bisa secuil. Gerak bisa sekarang.”

Tapi aku—
aku masih menjadi jeda.
Masih menjadi hampir.
Masih menjadi bayangan langkah yang belum memilih bumi mana yang ingin diinjak.

Gresik 2025

Baca Juga
Tag:
Posting Komentar