![]() |
| Puisi ini dibuat di WGL Ketanen. (SASTRAPANTURA/Zuhdi) |
Di gedung berkubah megah,
sidang tiada henti menjadi ritual semata.
Suara-suara lantang menggema,
namun hanya memenuhi kolom berita usang, bagai angin puyuh di padang gersang yang tak membawa hujan.
Setiap keputusan yang lahir dari ruang ber-AC itu adalah metafora pintu yang terkunci, menjauh dari denyut nadi rakyat yang antre di luar.
Angka-angka anggaran yang disebut bukan lagi simbol harapan,
melainkan mantra yang mengubah aspirasi menjadi proyek fiktif.
Data berbicara: indeks kepercayaan publik merangkak turun, seperti air mata yang mengering di pipa yang tersumbat.
Birokrasi berbelit telah menjadi labirin tanpa pintu keluar.
Setiap meja bukan lagi alas pelayanan, melainkan benteng yang memagari kekuasaan.
Surat-surat berstempel basah adalah puisi surealis tentang antrian panjang, di mana manusia direduksi menjadi sekadar nomor antrian.
Di balik senyum petugas, tersimpan logika bengkok yang mengutamakan prosedur ketimbang rasa peduli. Ini adalah tragedi semiotika: papan tanda "Pro Rakyat" justru menjadi penanda paling nyata atas ketiadaannya.
Kemanusiaan tercecer di sela-sela tumpukan berkas. Nafas para petani, peluh buruh, dan harapan anak sekolah, terperangkap dalam kuota internet rapat yang tak substansial. Metafora terkuat adalah kesunyian: di tengah gemuruh orasi, suara rakyat adalah ruang kosong yang paling berisik. Sajak ini terlalu singkat untuk merangkum semua luka, namun ia adalah cermin retak untuk memantulkan wajah kita yang mulai terbiasa dengan karut-marut ini. Sebuah sistem yang bobrok bukanlah takdir, melainkan puisi buruk yang kita biarkan terus ditulis.
Penulis: Zuhdi
